tugas
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan
hak-hak yang dimiliki manusia sejak ia lahir yang berlaku seumur hidup dan
tidak dapat diganggu gugat siapapun.Hak Asasi merupakan sebuah bentuk anugrah
yang diturunkan oleh Tuhan sebagai sesuatu karunia yang paling mendasar dalam
hidup manusia yang paling berharga. Hak Asasi dilandasi dengan sebuah kebebasan
setiap individu dalam menentukan jalan hidupnya, tentunya Hak asasi juga tidak
lepas dari kontrol bentuk norma-norma yang ada. Hak-hak ini berisi tentang
kesamaan atau keselarasan tanpa membeda-bedakan suku, golongan, keturunanan,
jabatan, agama dan lain sebagainya antara setiap manusia yang hakikatnya adalah
sama-sama makhluk ciptaan Tuhan.
Terkait tentang hakikat hak asasi
manusia, maka sangat penting sebagai makhluk ciptaan Tuhan harus saling menjaga
dan menghormati hak asasi masing-masing individu. Namun pada kenyataannya, kita
melihat perkembangan HAM di Negara ini masih banyak bentuk pelanggaran HAM yang
sering kita temui.
Rule of Law adalah suatu doktrin
yang mulai muncul pada abad ke 19, bersamaan dengan kelahiran Negara konstitusi
dan demokrasi. Rule of Law merupakan konsep tentang common law dimana segenap
lapisan masyarakat dan Negara beserta seluruh kelembagaannya menjungjung tinggi
supremasi hukum yang dibangun diatas prinsip keadilan dan egalitarian. Ada
tidaknya Rule of Law dalam suatu Negara ditentukan oleh kenyataan apakah
rakyatnya benar-benar menikmati keadilan, dalam arti perlakuan yang adil baik
sesama warga Negara maupun pemerintah
2. Rumusan masalah
Berdasarkan
latar belakang tersebut, rumusan masalah yang akan dibahas sebagai berikut:
a.
Apa
pengertian dan ruang lingkup Hak Asasi Manusia dan Rule of Law ?
b. Bagaimana perkembangan Hak Asasi
Manusia di Indonesia ?
c.
Apa saja
pelanggaran Hak Asasi Manusia ?
3. Tujuan penulisan
Adapun
tujuan penulisan sebagai berikut :
a.
Untuk
mengetahui pengertian Hak Asasi Manusia dan Rule of Law, serta mengetahui ruang
lingkup Hak Asasi Manusia dan Rule of Law
b. Untuk mengetahui perkembangan Hak
Asasi Manusia di Indonesia
c.
Untuk
mengetahui pelanggaran apa sajakah yang sering terjadi terkait dengan Hak Asasi
Manusia maupun Rule of Law
BAB II
PEMBAHASAN
I. Pengertian Hak Asasi Manusia
Hak asasi manusia (HAM) secara tegas
di atur dalam Undang Undang No. 39 tahun 1999 pasal 2 tentang asas-asas dasar
yang menyatakan “Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak
asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati
melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi,
dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan,
kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.”
Pengertian HAM menurut para ahli :
John Locke, hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat
hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi
dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan
serta perlindungan harkat dan martabat manusia (Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun
1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM).
Jack Donnely, hak asasi manusia
adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia. Umat
manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau
berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya
sebagai manusia.
Meriam Budiardjo, berpendapat bahwa
hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan
dibawanya bersamaan dengan kelahirannya di dalam kehidupan masyarakat. Dianggap
bahwa beberapa hak itu dimilikinya tanpa perbedaan atas dasar bangsa, ras,
agama, kelamin dan karena itu bersifat universal
Koentjoro Poerbapranoto ( 1976 ),
Hak Asasi adalah hak-hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya yang tidak
dapat dipisahkan dari hakikatnya sehingga sifatnya suci.
Jan Materson (dari komisi HAM PBB), dalam
Teaching Human Rights, United Nations sebagaimana dikutip Baharuddin Lopa
menegaskan bahwa HAM adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang
tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia.
John Locke menyatakan bahwa HAM
adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai
hak yang kodrati. (Mansyur Effendi, 1994).
Hak asasi manusia dalam pengertian
umum adalah hak-hak dasar yang dimiliki setiap pribadi manusia sebagai anugerah
Tuhan yang dibawa sejak lahir. Ini berarti bahwa sebagai anugerah dari Tuhan
kepada makhluknya, hak asasi tidak dapat dipisahkan dari eksistensi pribadi
manusia itu sendiri. Hak asasi tidak dapat dicabut oleh suatu kekuasaan atau
oleh sebab-sebab lainnya, karena jika hal itu terjadi maka manusia kehilangan
martabat yang sebenarnya menjadi inti nilai kemanusiaan.
Walau demikian, bukan berarti bahwa
perwujudan hak asasi manusia dapat dilaksanakan secara mutlak karena dapat
melanggar hak asasi orang lain. Memperjuangkan hak sendiri sampai-sampai
mengabaikan hak orang lain, ini merupakan tindakan yang tidak manusiawi. Kita
wajib menyadari bahwa hak-hak asasi kita selalu berbatasan dengan hak-hak asasi
orang lain.
Hak asasi manusia adalah hak dasar
yang dimiliki oleh setiap pribadi manusia secara kodrati sebagai anugerah dari
Tuhan, mencangkup hak hidup,hak kemerdekaan/kebebasan dan hak memiliki sesuatu.
Ruang lingkup HAM yang merupakan dasar dari manusia yang senantiasa berubah
menurut ukuran zaman dan perumusannya, sebagai berikut :
a. HAM menurut Piagam PBB tentang
Deklarasi Universal of Human Rights 1948, meliputi :
1. Hak berpikir dan mengeluarkan
pendapat.
2. Hak memilih sesuatu.
3. Hak mendapatkan pendidikan dan
pengajaran.
4. Hak menganut aliran kepercayaan
atau agama.
5. Hak untuk hidup.
6. Hak untuk kemerdekaan hidup.
7. Hak untuk memperoleh nama baik.
8. Hak untuk memperoleh pekerjaan.
9. Hak untuk mendapatkan
perlindungan hokum.
b. HAM menurut UU. No : 39 tahun 1999
1. Hak untuk hidup,
2. Hak berkeluarga,
3. Hak mengembangkan diri,
4. Hak keadilan,
5. Hak kemerdekaan,
6. Hak berkomunikasi,
7. Hak keamanan,
8. Hak kesejahteraan, dan
9. Hak perlindungan.
Ditinjau dari berbagai bidang, HAM
meliputi :
a.
Hak asasi
pribadi (Personal Rights)
Contoh : hak kemerdekaan, hak
menyatakan pendapat, hak memeluk agama.
b. Hak asasi politik (Political Rights)
yaitu hak untuk diakui sebagai warga negara.
Misalnya : memilih dan dipilih, hak
berserikat dan hak berkumpul.
c.
Hak asasi
ekonomi (Property Rights)
Misalnya : hak memiliki sesuatu, hak
mengarahkan perjanjian, hak bekerja dan hak
mendapat hidup layak.
d. Hak asasi sosial dan kebuadayaan
(Sosial & Cultural Rights).
Misalnya : mendapatkan pendidikan,
hak mendapatkan santunan, hak pensiun, hak
mengembangkan kebudayaan dan hak
berkspresi.
e.
Hak untuk
mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan Pemerintah (Rights Of
Legal Equality)
f.
Hak untuk
mendapatkan perlakuan yang sama dalam hokum
II. Ciri dan Tujuan Hak Asasi Manusia
Hak Asasi Manusia pada dasarnya
bersifat umum atau universal karena diyakinibahwa beberapa hak yang dimiliki
manusia tidak memiliki perbedaan atas bangsa, ras, atau jenis kelamin. Dasar
Hak Asasi Manusia adalah manusia berada dalam kedudukan yang sejajar dan
memiliki kesempatan yang sama dalam berbagai macam aspek untuk mengembangkan
segala potensi yang dimilikinya.
Berdasarkan beberapa rumusan HAM di
atas, dapat ditarik kesimpulan tentang ciri pokok hakikat HAM, yaitu sebagai berikut
:
a.
HAM tidak
perlu diberikan, dibeli ataupun diwarisi. HAM merupakan bagian dari manusia
secara otomatis
b. HAM berlaku untuk semua orang tanpa
memandang jenis kelamin, ras, agama, etnis, pandangan politik , atau asal usul
social dan bangsanya
c.
HAM tidak
bisa dilanggar. Tidak seorangpun mempunyai hak untuk melanggar dan membatasi
orang lain
Tujuan Hak Asasi Manusia
a. HAM adalah alat untuk melindungi
orang dari kekerasan dan kesewenang-wenangan.
b. HAM mengenmbangkan saling menghargai
antar manusia
c.
HAM
mendorong tindakan yang dilandasi kesadaran dan tanggung jawab untuk menjamin
bahwa hak-hak orang lain tidak dilanggar
III. Perkembangan Pemikiran HAM di
Indonesia
UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia (UU HAM) memuat prinsip bahwa hak asasi manusia harus dilihat
secara holistik bukan parsial sebab HAM adalah seperangkat hak yang melekat
pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi
oleh negara hukun, Pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia.
Secara
garis besar perkembangan pemikiran HAM di indonesia dapat dibagi ke dalam dua
periode,yaitu : sebelum kemerdekaan (1908-1945) dan sesudah kemerdekaan
1. Periode sebelum kemerdekaan
Perkembangan pemikiran HAM dalam
periode ini dapat dijumpai dam organisasi pergerakan sebagai berikut:
a. Boedi Oetomo, dalam konteks
pemikiran HAM, pemimpin Boedi Oetomo telah memperlihatkan adanya kesadaran
berserikat dan mengeluarkan pendapat melalui petisi – petisi yang dilakukan
kepada pemerintah kolonial maupun dalam tulisan yang dalam surat kabar goeroe
desa. Bentuk pemikiran HAM Boedi Oetomo dalam bidang hak kebebasan berserikat
dan mengeluarkan pendapat.
b. Perhimpunan Indonesia, lebih
menitikberatkan pada hak untuk menentukan nasib sendiri.
c. Sarekat Islam, menekankan pada usaha
– usaha unutk memperoleh penghidupan yang layak dan bebas dari penindasan dan
deskriminasi rasial.
d. Partai Komunis Indonesia, sebagai
partai yang berlandaskan paham Marxisme lebih condong pada hak – hak yang
bersifat sosial dan menyentuh isu – isu yang berkenan dengan alat produksi.
e. Indische Partij, pemikiran HAM yang
paling menonjol adalah hak untuk mendapatkan kemerdekaan serta mendapatkan
perlakuan yang sama dan hak kemerdekaan.
f. Partai Nasional Indonesia,
mengedepankan pada hak untuk memperoleh kemerdekaan.
g. Organisasi Pendidikan Nasional
Indonesia, menekankan pada hak politik yaitu hak untuk mengeluarkan pendapat,
hak untuk menentukan nasib sendiri, hak berserikat dan berkumpul, hak persamaan
di muka hukum serta hak untuk turut dalam penyelenggaraan Negara.
h. Pemikiran HAM sebelum kemerdekaan
juga terjadi perdebatan dalam sidang BPUPKI antara Soekarno dan Soepomo di satu
pihak dengan Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin pada pihak lain. Perdebatan
pemikiran HAM yang terjadi dalam sidang BPUPKI berkaitan dengan masalah hak
persamaan kedudukan di muka hukum, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak,
hak untuk memeluk agama dan kepercayaan, hak berserikat, hak untuk berkumpul,
hak untuk mengeluarkan pikiran dengan tulisan dan lisan.
2. Periode setelah kemerdekaan
Perdebatan tentang HAM terus
berlanjut sampai periode pasca kemerdekaan Indonesia: 1945-1950, 1950-1959,
1959-1966, 1966-1998, dan periode HAM Indonesia kontemporer (pasca orde baru).
a) Periode 1945-1950
Pemikiran
HAM pada periode awal pasca kemerdekaan masih menekankan pada wacana hak untuk
merdeka, hak kebebasan untuk berserikat melalui organisasi politik yang
didirikan,serta hak kebebasan untuk menyampaikan pendapat terutama di parlemen.
Sepanjang periode ini, wacana HAM bisa dicirikan pada:
1. Bidang sipil politik, melalui:
·
UUD 1945 (Pembukaan, pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30,
Penjelasan pasal 24 dan 25 )
· Maklumat
Pemerintah 01 November 1945
· Maklumat
Pemerintah 03 November 1945
· Maklumat Pemerintah 14 November 1945
· KRIS, khususnya Bab V,Pasal 7-33
· KUHP Pasal 99
2. Bidang ekonomi, sosial, dan budaya,
melalui:
· UUD 1945 (Pasal 27, Pasal 31, Pasal 33,
Pasal 34, Penjelasan Pasal 31-32)
· KRIS Pasal 36-40
b). Periode 1950-1959
Periode
1950-1959 dikenal dengan masa perlementer . Sejarah pemikiran HAM pada masa ini
dicatat sebagai masa yang sangat kondusif bagi sejarah perjalanan HAM di
Indonesia.Sejalan dengan prinsip demokrasi liberal di masa itu, suasana
kebebasan mendapat tempat dalam kehidupan politik nasional.Menurut catatan
Bagir Manan, masa gemilang sejarah HAM Indonesia pada masa ini tercermin pada
lima indikator HAM:
1. Munculnya partai-partai politik dengan
beragam ideologi.
2. Adanya
kebebasan pers.
3.
Pelaksanaan pemilihan umum secara aman, bebas, dan demokratis.
4. Kontrol
parlemen atas eksekutif.
5.
perdebatan HAM secara bebas dan demokratis.
Tercatat
pada periode ini Indonesia meratifikasi dua konvensi internasional HAM, yaitu :
a. Konvensi Genewa tahun 1949 yang
mencakup perlindungan hak bagi korban perang, tawanan perang, dan perlindungan
sipil di waktu perang.
b. Konvensi tentang Hak Politik
Perempuan yang mencakup hak perempuan untuk memilih dan dipilih tanpa perlakuan
diskriminasi,serta hak perempuan untuk menempati jabatan publik.
c). Periode 1959-1966
Periode
ini merupakan masa berakhirnya Demokrasi Liberal, digantikan oleh sistem
Demokrasi Terpimpin yang terpusat pada kekuasaan Presiden Soekarno. Demokrasi
Terpimpin (Guided Democrary) tidak lain sebagai bentuk penolakan presiden
Soekarno terhadap sistem Demokrasi Parlementer yang dinilainya sebagai produk
barat. Menurut Soekarno Demokrasi Parementer tidak sesuai dengan karakter
bangsa Indonesia yang telah memiliki tradisinya sendiri dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara.
Melalui
sistem Demokrasi terpimpin kekuasaan terpusat di tangan Presiden. Presiden
tidak dapat di kontrol oleh parlemen, sebaliknya parlemen di kendalikan oleh
Presiden. Kekuasaan Presiden Soekarno bersifat absolut, bahkan di nobatkan
sebagai Presiden RI seumur hidup. Akibat langsung dari model pemerintahan yang
sangat individual ini adalah pemasungan hak-hak asasi warga negara. Semua
pandangan politik masyarakat diarahkan harus sejalan dengan kebijakan
pemerintah yang otoriter. Dalam dunia seni, misalnya atas nama pemerintahan
Presiden Soekarno menjadikan Lembaga Kebudayaan Rakyat (lekra) yang berafeliasi
kepada PKI sebagai satu-satunya lembaga seni yang diakui. Sebaliknya, lembaga
selain lekra dianggap anti pemerintah atau kontra revolusi.
d). Periode 1966-1998
Pada
mulanya, lahirnya orde baru menjanjikan harapan baru bagi Penegak HAM di
Indonesia. Berbagai seminar tentang HAM dilakukan orde baru. Namun pada
kenyataanya, orde baru telah menorehkan sejarah hitam pelanggaran HAM di
Indonesia. Janji-janji orde baru tentang pelaksanaan HAM di Indonesia mengalami
kemunduran amat pesat sejak awal 1970-an hingga 1980-an.
Setelah
mendapatkan mandat konstitusional dari sidang MPRS, pemerintah Orde Baru mulai
menunjukkan watak aslinya sebagai kekuasaan yang anti HAM yang di anggapnya
sebagai produk barat.Sikap anti HAM Orde Baru sesungguhnya tidak berbeda dengan
argumen yang pernah di kemukakan Presiden Soekarno ketika menolak prinsip dan
praktik Demokrasi Parlementer, yakni sikap apologis dengan cara
mempertentangkan demokrasi dan Prinsip HAM yang lahir di barat dengan budaya
lokal Indonesia. Sama halnya dengan Orde Lama,Orde Baru memandang HAM dan
demokrasi bsebagai produk Barat yang individualistik dan bertentangan dengan
prinsip gotong royong dan kekeluargaan yang dianut oleh bangsa Indonesia.
Di
antara butir penolakan pemerintah Orde baru terhadap konsep universal HAM
adalah:
a. HAM adalah produk pemikiran Barat
yang tudak sesuai dengan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam
pancasila.
b. Bangsa Indonesia sudah terlebih
dahulu mengenal HAM sebagaimana tertuang dalam rumusn UUD 1945 yang lahir lebih
lebih dahulu dibandingkan dengan Deklarasi Universal HAM.
c. Isu HAM sering kali digunakan olah
negara-negara barat untuk memjokkaan negara yang sedang berkembang seperti
Indonesia.
Apa yang dikemukakan oleh pemerintah
Orde Baru tidak seluruhnya keliru,tetapi juga tidak semuanya benar.Sikap
apriori Orde Baru terhadap HAM Barat ternyata sarat dengan pelanggaran HAM yang
dilakukannya. Pelanggaran HAM Orde Baru dapat dilihat dari kebijakan politik
Orde Baru yang bersifat Sentralistik dan anti segala gerakan politik yang
berbeda dengan pemerintah . Sepanjang pemerintahan presiden soeharto tidak
dikenal istilah partai oposisi, bahkan sejumlah gerakan yang berlawanan dengan
kebijakan pemerintah dinilai sebagai anti pembanguan bahkan anti pancasila.
Melalui pendekatan keamanan (security approach) dengan cara kekerasan yang
berlawanan dengan prinsip-prinsip HAM,pemerintah orde baru tidak segan-segan
menumpas segala bentuk aspirasi masyarakat yag dinilai berlawanan dengan orde
baru. Kasus pelanggaran HAM Tanjung Priok, Kedung Ombo, Lampung,Aceh adalah
segelintir daftar pelanggaran HAM yang pernah dilakukan oleh penguasa Orde
Baru.
Di tengah kuatnya peran Negara,
suara perjuangan HAM dilakukan oleh kalangan organisasi non pemerintah atau
lembaga swadaya masyarakat (LSM). Upaya penegakkan HAM oleh kelompok-kelompok
nonpemerintahan membuahkan hasil yang menggembirakan diawal ’90-an’. Kuatnya
tuntutan penegakkan HAM dari kalangan masyarakat mengubah pendirian pemerintah
Orde Baru untuk bersikap lebih akomodatif terhadap tuntutan HAM. Satu diantara
sikap akomodatif pemerintah tercermin dalam persetujuan pemerintah terhadap
pembentukkan komisi nasional hak asasi manusia (komnas HAM) melalui keputusan
presiden (keppres). Kehadiran komnas HAM adalah untuk memantau dan menyelidiki
pelaksanaan HAM, memberi pendapat, pertimbangan, dan saran kepada pemerintah
perihal pelaksanaan HAM. Lembaga ini juga membantu pengembangan dan pelaksanaan
HAM yang sesuai dengan pancasila dan UUD 1945. Sayangnya, sebagai lembaga
bentukan pemerintah orde baru penegakkan HAM tidak berdaya dalam mengungkap
pelanggaran-pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh Negara.
Sikap akomodatif lainnya ditunjukkan
dengan dukungan pemerintahan dengan meratifikasi tiga (3) konvensi HAM: (1)
konvensi tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan,
melalui UU no. 7 tahun 1984; (2) konvensi anti-apartheid dalam olahraga,
melalui UU no. 48 tahun 1993; (3) konvensi hak anak, melalui keppres no. 36
tahun 1990.
Namun demikian, sikap akomodatif
pemerintah orde baru terhadap tuntutan HAM masyarakat belum sepenuhnya
diserasikan dengan pelaksanaan HAM oleh Negara. Komitmen orde baru terhadap
pelaksanaan HAM secara murni dan konsekuen masih jauh dari harapan masyarakat.masa
pemerintahan orde baru masih sarat dengan pelanggarann HAM yang dilakukan oleh
aparat Negara atas warga Negara. Akumulasi pelanggaran HAM Negara smasa periode
ini tercermin dengan tuntutan mundur presiden soeharto dari kursi kepresidenan
yang disurahkan oleh kelompok reformis dan mahasiswa pada tahun 1998. Isu
pelanggaran HAM dan penyalahgunaan kekuasaaan mewarnai tuntutan reformasi yang
disuarakan pertama kali oleh Dr. Amin Rais, tokoh intelektual muslim Indonesia
yang sangat kritis terhadap kebijakan pemerintah orde baru.
e). Periode pasca Orde Baru
Tahun
1998 adalah era paling penting dalam sejarah HAM di Indonesia. Lengsernya
tampuk kekuasaan Orde Baru sekaligus menandai berakhirnya rezim militer di
Indonesia dan datangnya era baru demokrasi dan HAM,setelah tiga puluh tahun
lebih terpasung di bawah rezim otoriter.Pada tahun ini Presiden Soeharto
digantikan oleh B.J. Habibie yang kala itu menjabat sebagai Wakil presiden RI.
Pada
masa Habibie misalnya, perhatian pemerintah terhadap pelaksanaan HAM mengalami
perkembangan yang sangat signifikan.Lahirnya Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang
HAM merupakan salah satu indikatorkeseriusan pemerintahan era reformasi akan
penegakan HAM.Sejumlah konvensi HAM juga diratifikasi di antaranya: konvensi
HAM tentang kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi;
konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan kejam; konvensi penghapusan segala
bentuk [3]diskriminasi rasial; konvensi tentang penghapusan kkerja paksa;
konvensi tentang diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan; serta konvensi
tentang usia minimum untuk diperbolehkan bekerja.
Kesungguhan
pemerintahan B.J.Habibie dalam perbaikan pelaksanaan HAM ditunjukkan dengan
pencanangan program HAM yang dikenal dengan istilah Rencana Akasi Nasional HAM,
pada Agustus 1998. Agenda HAM ini bersandarkan pada empat pilar, yaitu:
1. Persiapan pengesahan perangkat
Internasional di bidang HAM
2. Diseminasi informasi dan pendidikan
bidang HAM
3. Penentuan skala prioritas
pelaksanaan HAM
4. Pelaksanaan isi perangkat Internasional di
bidang HAM yang telah diratifikasi melalui perundang-undangan nasional
Komitmen
pemerintah terhadap penegakan HAM juga di tunjukkan dengan pengesahan UU
tentang HAM, pembentukan Kantor Menteri Negara Urusan HAM yang kemudian di
gabung dengan Departemen Hukum dan Perundang-undangan menjadi Departeman
Kehakiman dan HAM, penambahan pasal-pasal khusus tentang HAM dalam amandemen
UUD 1945, penerbitan inpres tentang pengarus utamaan gender dalam pembangunan
nasional, pengesahan UU tentang pengadilan HAM. Pada tahun 2001, Indonesia juga
menandatangani dua protocol hak anak yakni protocol yang terkait dengan
larangan perdagangan, prostitusi, dan pornografi anak, serta protocol yang
terkait dengan keterlibatan anak dalam konflik bersenjata. Menyusul kemudian
pada tahun yang sama pemerintah membuat beberapa pengesahan UU diantaranya
tentang perlindungan anak, pengesahan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah
tangga, dan penerbitan keppres tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) HAM
Indonesia tahun 2004-2009
IV. HAM di Indonesia
Sejak
kemerdekaan tahun 1945 sampai sekarang di Indonesia telah berlaku tiga
undang-undang dalam 4 periode, yaitu :
a. Periode 18 Agustus 1945 sampai 27
Desember 1949, berlaku UUD 1945,
b. Periode 27 Desember 1949 sampai 17
Agustus 1950, berlaku Konstitusi Republik Indonesia Serikat.
c. Periode 17 Agustus 1950 sampai 5
Juli 1959, berlaku UUDS 1950.
d. Periode 5 Juli 1959 sampai sekarang,
berlaku kembali UUD 1945.
Pencantuman
pasal-pasal tentang Hak-hak Asasi Manusia dalam tiga UUD tersebut berbeda satu
sama lain. Dalam UUD 1945 butir-butir Hak Asasi Manusia hanya tercantum
beberapa saja. Sementara Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950 hampir bula-bulat
mencantumkan isi Deklarasi HAM dari PBB. Hal demikian ini karna memang
situasinya sangat dekat dengan Deklarasi HAM PBB yang masih aktual. Di samping
itu terdapat pula harapan masyarakat dunia agar deklarasi HAM PBB dimasukkan ke
dalam Undang-Undang Dasar atau perundangan lainnya di negara-negara anggota
PBB, agar secara yuridis formal HAM dapat berlaku di negara masing-masing.
Ketika UUD 1945 berlaku kembali
sejak 5 Juli 1959, secara yuridis formal, hak-hak asasi manusia tidak lagi
lengkap seperti Deklarasi HAM PBB, karena yang terdapat di dalam UUD 1945 hanya
berisi beberapa pasal saja, khususnya pasal 27, 28, 29, 30 dan 31. Pada awal
Orde baru saja tujuan Pemerintah adalah melaksanakan hak asasi manusia yang
tercantum dalam UUD 1945 serta berupaya melengkapinya. Tugas untuk melengkapi HAM ini ditanda tangani oleh
sebuahh panitia MPRS yang kemudian menyusun Rancangan Piagam Hak-hak Asasi
Manusia serta hak-hak dan Kewajiban warganegara yang dibahas dalam sidang MPRS
tahun 1968. Dalam pembahasan ini sidang MPRS menemui jalan buntu, sehingga
akhirnya dihentikan. Begitu pila setelah MPR terbentuk hasil pemilihan umum
1971 persoalan HAM tidak lagi diagendakan, bahkan dipeti-eskan sampai
tumbangnya Orde Baru di tahun 1998 yang berganti dengan era Reformasi. Pada
awal Reformasi itu pula diselenggarakan sidang istimewa MPR tahun 1998 yang
salah satu ketetapannya berisi Piagam HAM.
1) Lembaga penegak HAM
Hak
asasi manusia merupakan hak yang harus dilindungi, baik oleh individu,
masyarakat maupun oleh Negara. Hal ini dikarenakan Hak Asasi Manusia merupakan
hak paling asasi yang dimiliki oleh manusia sebagai anugerah yang diberikan
oleh Tuhan. Oleh sebab itu, HAM harus dijaga, dihormati dan ditegakkan dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Tidak seorangpun berhak untuk melanggar
hak asasi yang dimiliki oleh manusia dengan alasan apapun.
Untuk
merealisasikan penegakan HAM di Indonesia, telah dibentuk suatu komisi mengenai
hak asasi manusia. Dasar hukum bagi penegakan HAM di Indonesia sudah sangat
jelas, baik melalui UUD, ketetapan MPR maupun perundang-undangan, baik yang sudah
disahkan, maupun ratifikasi dari konvensi hak asasi manusia yang ada di dunia
Internasional.
2) Komisi Nasional HAM
Komnas HAM adalah lembaga mandiri
yang kedudukannya setingkat dengan lembaga Negara lainnya yang berfungsi untuk
melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan dan mediasi hak
asasi manusia.
Tujuan Komnas HAM antara lain :
1. Mengembangkan kondisi yang kondusif
bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan pancasila, UUD 1945 dan piagam
PBB serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia;
2. Meningkatkan perlindungan dan
penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia
seutuhnya dan kemampuannya berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan
v Wewenang Komnas HAM
·
Wewenang dalam bidang pengkajian penelitian
1. Pengkajian dan penelitian berbagai
instrumen internasional hak asasi manusia dengan tujuan memberikan saran-saran
mengenai kemungkinan aksesibilitas atau ratifikasi
2. Pengkajian dan penelitian berbagai
peraturan perundang-undangan untuk memberikan rekomendasi mengenai pembentukan,
perubahan, dan pencabutan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
hak asasi manusia
3. Penerbitan hasil pengkajian dan
penelitian
4. Studi perpustakaan, studi lapangan,
dan studi banding di negara lain mengenai hak asasi mausia
5. Pembahasan berbagai masalah yang
berkaitan dengan perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia
6. Kerja sama pengkajian dan penelitian
dengan organisasi, lembaga atau pihak lainnya, baik tingkat nasional, reginal,
maupun internasianal dalam bidang hak asasi manusia
·
Wewenang dalam bidang penyuluhan
1. Penyebarluasan wawasan mengenai hak
asasi manusia kepada masyarakat Indonesia
2. Upaya peningkatan kesadaran
masyarakat tentang hak asasi manusia melalui lembaga pendidikan formal dan non
formal serta berbagai kalangan lainnya
3. Kerja sama dengan organisasi,
lembaga atau pihak lainnya, baik tingkat nasional, reginal, maupun
internasianal dalam bidang hak asasi manusia
·
Wewenang dalam pemantauan
1. Pengamat pelaksanaan hak asasi
manusia dan penyuluhan laporan hasil pengamatan tersebut
2. Penyelidikan dan pemeriksaan
terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau
lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran hak asasi manusia; pemanggilan
kepada pihak pengadu atau korban maupun pihak yang diadukan untuk dimintai dan
didengarkanketerangannya
3. Pemanggilan saksi untuk dimintai
keterangan dan didengar kesaksiannya, dan kepada saksi pengadu diminta
menyerahkan bukti yang diperlukan
4. Peninjauan di tempat kejadian dan
tempat lainnya yang dianggap perlu
5. Pemanggilan kepada pihak terkait
untuk memberikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang
diperlukan sesuai dengan aslinya dengan persetujuan ketua pengadilan
6. Pemerikasaan setempat terhadap
rumah, pekarangan, bangunan dan tempat tempat lainnya yang diduduki atau
dimiliki pihak tertentu dengan persetujauan ketu pengadilan
7. Pemberian pendapat berdasarkan
persetujua ketua pengadilan terhadap perkara tertentu yang sedang dalam proses
peradilan apabila dalam perkara tersebut terdapat pelanggaran hak asasi manusia
dalam masalah publik dan pemeriksaan oleh pengadilan yang kemudian pendapat
komnas HAM tersebut wajib diberitahukan oleh hakim kepada para pihak
·
Wewenang dalam bidang mediasi
1. Perdamaian kedua belah pihak
2. Penyelesaian perkara melalui cara
konsultasi, negosiasi, mediasi, konsilisasi, dan penilaian ahli
3. Pemberian saran kepada para pihak
untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadila
4. Penyampaian rekomendasi atas suatu
kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada pemerintah untuk ditinjak lanjuti penyelesaiannya
5. Penyampaian rekomendasi atas suatu
kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia untuk ditinjak lanjuti
V. Hak Asasi Manusia Dalam
Perundang-undangan Nasional
Dalam
peraturan perundang undangan RI paling tidak terdapat empat bentuk hukum
tertulis yang memuat aturan tentang HAM. Pertama, dalam konstitusi
(Undang-undang Dasar Negara). Kedua, dalam ketetapan MPR (TAP MPR). Ketiga,
dalam Undang-undang. Keempat, dalam peraturan pelaksanaan perundang-undangan
seperti peraturan pemerintah, keputusan presiden dan peraturan pelaksanaan
lainnya.
Kelebihan
pengaturan HAM dalam konstitusi memberikan jaminan yang sangat kuat, karena
perubahan dan atau penghapusan satu pasal dalam konstitusi seperti dalam ketatanegaraan
di Indonesia mengalami proses yang sangat berat dan panjang antara lain melalui
amandemen dan referendum. Sedangkan kelemahannya karena yang diatur dalam
konstitusi hanya memuat aturan yang masih global seperti ketentuan tentang HAM
dalam konstitusi RI yang masih bersifat global. Sementara itu bila pengaturan
HAM melalui TAP MPR, kelemahannya tidak dapat memberikan sangsi hokum bagi
pelanggarnya. Sedangkan pengaturan HAM dalam bentuk Undang-Undang dan peraturan
pelaksanaannya kelemahannya pada kemungkinan seringnya mengalami perubahan
VI. Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Hak asasi manusia bersifat
universal, yang artinya berlaku dimana saja, untuk siapa saja, dan tidak dapat
diambil siapapun. Hak-hak tersebut dibutuhkan individu melindungi diri dam
martabat kemanusiaan, juga seagai landasan moral dlam bergaul dengan sesama
manusia. Meskipun demikian bukan berarti manusia dengan hak-haknya dapat
berbuat sesuka hatinya maupun seenak-enaknya.
Menurut Pasal 1 Angka 6 No. 39 Tahun
1999 yang dimaksud dengan pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan
seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja maupun
tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi,
membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang
yang dijamin oleh undang-undang dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak
akan memperoleh penyesalan hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme
hukum yang berlaku.
Menurut UU no 26 Tahun 2000 tentang
pengadilan HAM, Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok
orng termasuk aparat negara baik disengaja atau kelalaian yang secara hukum
mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut Hak Asasi Manusia
seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang ini, dan tidak
didapatkan, atau dikhawatirksn tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang
adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. Kasus Ham sering kali
terjadi, tidak hanya di Indonesia tapi juga dinegara-negara lain di dunia. Di
Indonesia sendiri kasus seperti ini masih sering terjadi walaupun sudah ada
lembaga yang berfungsi melakukan pengawasan terhadap kemungkinan terjadinya
pelanggaran HAM di Indonesia seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas
Ham). Pelanggaran hak asasi manusia dapat terjadi dalam interaksi antara aparat
pemerintah dengan masyarakat dan antar warga masyarakat. Namun, yang sering
terjadi adalah antara aparat pemerintah dengan masyarakat.
Banyak macam Pelanggaran HAM di
Indonesia, dari sekian banyak kasus ham yang terjadi, tidak sedikit juga yang
belum tuntas secara hukum, hal itu tentu saja tak lepas dari kemauan dan itikad
baik pemerintah untuk menyelesaikannya sebagai pemegang kekuasaan sekaligus
pengendali keadilan bagi bangsa ini.
a. Kasus pelanggaran HAM yang
bersifat berat, meliputi :
1. Pembunuhan masal (genosida:
setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud menghancurkan atau memusnahkan
seluruh atau sebagian kelompok bangsa)
2. Pembunuhan sewenang-wenang atau
di luar putusan pengadilan
3. Penyiksaan
4. Penghilangan orang secara paksa
5. Perbudakan atau diskriminasi yang
dilakukan secara sistematis
b. Kasus pelanggaran HAM yang biasa,
meliputi :
1. Pemukulan
2. Penganiayaan
3. Pencemaran nama baik
4. Menghalangi orang untuk
mengekspresikan pendapatnya
5. Menghilangkan nyawa orang lain
Penindakan terhadap pelanggaran HAM
dilakukan melalui proses peradilan HAM mulai dari penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, dan persidangan terhadap pelanggaran yang terjadi harus bersifat nondiskriminatif
dan berkeadilan. Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada di
lingkungan Pengadilan Umum.
Pengadilan HAM berkedudukan di
daerah kabupaten atau daerah kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hokum
Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Pengadilan HAM bertugas memeriksa dan
memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Pengadilan HAM
berwewenang juga memeriksa dan memutuskan perkara pelanggaran hak asasi manusia
yang berada dan dilakukan diluar batas territorial wilayah Negara Republik
Indonesia oleh warga Negara Indonesia.
VII. Pengertian dan Ruang Lingkup Rule of Law
Gerakan masyarakat yang menghendaki
bahwa kekuasaan raja maupun penyelenggara negara harus dibatasi dan diatur
melalui suatu peraturan perundang-undangan dan pelaksanaan dalam hubungannya
dengan segala peraturan perundang-undangan itulah yang sering diistilahkan
dengan Rule of Law.[1][1] Berdasarkan bentuknya sebenarnya
Rule of Law adalah kekuasaan publik yang diatur secara legal. Setiap organisasi
atau persekutuan hidup dalam masyarakat termasuk negara mendasarkan pada Rule
of Law. Dalam hubungan ini Pengertian Rule of Law berdasarkan substansi atau
isinya sangat berkaitan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam
suatu negara.
Negara hukum merupakan terjemahan
dari istilah Rechsstaat atau Rule Of Law. Rechsstaat atau Rule Of Law itu
sendiri dapat dikatakan sebagai bentuk perumusan yuridis dari gagasan
konstitusionalisme. Oleh karena itu, konstitusi dan negara hukum merupakan dua
lembaga yang tidak terpisahkan.
Friedman (1959) membedakan rule of
law menjadi dua, yaitu pengertian secara formal (in the formal sense) dan
pengertian secara hakiki/materill (ideological sense). Secara formal, rule of
law diartikan sebagai kekuasaan umum yang terorganisasi( organized public
power), misalnya Negara. Sementara itu secara hakiki, rule of law terkait
dengan penegakan rule of law karena menyangkut ukuran hukum yang baik dan buruk
(just and unjust law). Rule of law terkait dengan keadilan sehingga rule of law
harus menjamin keadilan yang dirasakan oleh masyarakat/bangsa.
Menurut Albert Venn Dicey dalam
“Introduction to the Law of the Constitution” memperkenalkan istilah the rule
of law yang secara sederhana diartikan suatu keteraturan hukum. Menurut Dicey,
terdapat tiga unsur yang fundamental dalam rule of law yaitu :
1. Supremasi aturan-aturan hukum, tidak
adanya kekuasaan yang sewenang- wenang dalam arti seseorang Hanya boleh dihukum
jikalau memangmelanggar hokum.
2. Kedudukan yang sama di muka hukum,
hal ini berlaku baik bagi masyarakat biasa maupun pejabat Negara
3. Terjaminnya hak-hak asasi manusia
oleh UU serta keputusan-keputusan UU
VIII. Prinsip-prinsip Rule of Law
Pengertian Rule of Law tidak dapat
dipisahkan dengan pengertian negara hukum atau rechts staat. Meskipun demikian
dalam negara yang menganut sistem Rule of Law harus memiliki prinsip-prinsip
yang jelas, terutama dalam hubungannya dengan realisasi Rule of Law itu
sendiri. Menurut Albert Venn Dicey dalam “Introduction
to the Law of The Constitution, memperkenalkan istilah the rule of law yang
secara sederhana diartikan sebagai suatu keteraturan hukum. Menurut Dicey
terdapat 3 unsur yang fundamental dalam Rule of Law, yaitu: (1) supremasi
aturan aturan hukum,tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang, dalam arti
seseorang hanya boleh dihukum, jikalau memang melanggar hukum; (2) kedudukanmya
yang sama dimuka hukum. Hala ini berlaku baik bagi masyarakat biasa maupun
pejabat negara; dan (3) terjaminnya hak-hak asasi manusia oleh Undang-Undang
serta keputusan pengadilan.
Suatu
hal yang harus diperhatikan bahwa jikalau dalam hubungan dengan negara hanya
berdasarkan prinsip tersebut, maka negara terbatas dalam pengertian negara
hukum formal, yaitu negara tidak bersifat proaktif melainkan pasif. Sikap negara
yang demikian ini dikarenakan negara hanya menjalankan dan taat pada apa yang
termaktub dalam konstitusi semata. Dengan kata lain negara tidak hanya sebagai
“penjaga malam” (nachtwachterstaat). Dalam pengertian seperti ini seakan-akan
negara tidak berurusan dengan kesejahteraan rakyat. Setelah pertengahan abad
ke-20 mulai bergeser, bahawa negara harus bertanggung jawab terhadap
kesejahteraan rakyatnya. Untuk itu negara tidak hanya sebagai “penjaga malam”
saja, melainkan harus aktif melaksanakan upaya-upaya untuk mewujudkan
kesejahteraan masyarakat dengan cara mengatur kehidupan sosial ekonomi.
Gagasan
baru inilah yang kemudian dikenal dengan welvaartstaat, verzorgingsstaat,
welfare state, social service state, atau “negara hukum materal”. Perkembangan
baru inilah yang kemudian menjadi raison d’etre untuk melakukan revisi atau
bahkan melengkapi pemikiran Dicey tentang negara hukum formal.
Dalam
hubungan negara hukum ini organisasi pakar hukum Internasional, International
Comission of Jurists (ICJ), secara intens melakukan kajian terhadap konsep
negara hukum dan unsur-unsur esensial yang terkandung di dalamnya. Dalam
beberapa kali pertemuan ICJ di berbagai negara seperti di Athena (1995), di New
Delhi (1956),di Amerika Serikat (1957), di Rio de Jainero (1962), dan Bangkok
(1965), dihasilkan paradigma baru tentang negara hukum. Dalam hubungan ini
kelihatan ada semangat bersama bahwa konsep negara hukum adalah sangat penting,
yang menurut Wade disebut sebagai rule of law is a phenomenon of free society and
the mark of it. ICJ dalam kapasitasnya sebagai forum intelektual, juga
menyadari bahwa yang terpenting lagi adalah bagaiman konsep rule of law dapat
diimplementasikan sesuai perkembangan kehidupan dalam masyarakat.
Secara
praktis, pertemuan ICJ di Bangkok tahun 1965 semakin menguatkan posisi rule of
law dalam kehidupan bernegara. Selain itu, melalui pertemuan tersebut telah
digariskan bahwa di samping hak-hak politik bagi rakyat harus diakui pula
adanya hak-hak sosial-ekonomi, sehingga perlu dibentuk standar-standar sosial
ekonomi. Komisi ini merumuskan syarat-syarat pemerintahan yang demokratis
dibawah rule of law yang dinamis, yaitu: (1) perlindungan konstitusional,
artinya selain menjamin hak-hak individual, konstitusi harus pula menentukan
teknis prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin; (2)
lembaga kehakiman yang bebas dan tidak memihak; (3) pemilihan umum yang bebas;
(4) kebebasan menyatakan pendapat; (5) kebebasan berserikat/berorganisasi dan
beroposisi; dan (6) pendidikan kewarganegaraan (Azhary, 1995: 59).
Gambaran
ini mengukuhkan negara hukum sebagai walfare state, karena sebenarnya mustahil
mewujudkan cita-cita rule of law sementara posisi dan peran negara sangat
minimal dan lemah. Atas dasar inilah kemudian negara diberi kekuasaan dan
kemerdekaan bertindak atas dasar inisiatif parlemen. Negara dalam hal ini
pemerintah memiliki fries ermessen atau poivoir discretionnare, yaitu
kemerdekaan yang dimiliki pemerintah untuk turut serta dalam kehidupan sosial
ekonomi dan keleluasaan untuk tidak terlalu terikat pada produk legislasi
parlemen. Dala gagasan walfare state ternyata negara memiliki wewenang yang
relatif lebih besar, ketimbang format negara yang hanya bersifat negara hukum
formal saja. Selain itu dalam welfare state yang terpenting adalah negara
semakin otonom untuk mengatur dan mengarhkan fungsi dan peran negara bagi
kesejahteraan hidup masyarakat. Kecuali itu, sejalan dengan konsep negara
hukum, baik rechtsstaat maupun rule of law, pada prinsipnya memiliki kesamaan fundamental
serta saling mengisi. Dalam prinsip negara ini unsur penting pengakuan adanya
pembatasan kekuasaan yang dilakukan secara konstitusional. Oleh karena itu,
terlepas dari adanya pemikiran dan praktek konsep negara hukum yang berbeda,
konsep negar hukum dan rule of law adalah suatu realitas dari cita-cita sebuah
negara bangsa, termasuk negara Indonesia.
IX. Prinsip-prinsip Rule of Law secara
formal di Indonesia
Penjabaran prinsip-prinsip rule of
law secara formal termuat di dalam pasal-pasal UUD 1945, yaitu sebagai berikut
:
a. Negara Indonesia adalah Negara hukum
(pasal 1 ayat 3)
b. Kekuasaan kehakiman merupakan
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hokum
dan peradilan (pasal 24 ayat 1)
c. Segala warga Negara bersamaan kedudukannya
di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hokum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya (pasal 27 ayat 1)
d. Bab X A tentang Hak Asasi Manusia, memuat sepuluh pasal
antara lain bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan,
dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum (pasal
28 D ayat 1)
e. Setiap orang berhak untuk bekerja
serta mendapat imbalan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja
(pasal 28 D ayat 2)
Beberapa kasus dan penegakan rule of
law antara lain:
a.
Kasus
korupsi KPU dan KPUD
b. Kasus illegal logging
c.
Kasus dan
reboisasi hutan yang melibatkan pejabat Mahkamah Agung (MA)
d. Kasus-kasus perdagangan narkoba dan
psikotripika
e.
Kasus perdagangan
wanita dan anak
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan isi dari pembahasan
diatas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Hak Asasi Manusia adalah hak yang
melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai anugrah
dari Tuhan yang harus dihormati, dijaga dan dilindungi oleh setiap individu
2. Rule of Law adalah gerakan
masyarakat yang menghendaki bahwa kekuasaan raja maupun penyelenggara negara
harus dibatasi dan diatur melalui suatu peraturan perundang-undangan dan
pelaksanaan dalam hubungannya dengan segala peraturan perundang-undangan
3. Dalam peraturan perundang undangan
RI paling tidak terdapat empat bentuk hokum tertulis yang memuat aturan tentang
HAM. Pertama, dalam konstitusi (Undang-undang Dasar Negara). Kedua, dalam
ketetapan MPR (TAP MPR). Ketiga, dalam Undang-undang. Keempat, dalam peraturan
pelaksanaan perundang-undangan seperti peraturan pemerintah, keputusan presiden
dan peraturan pelaksanaan lainnya.
4. Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah
setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara, baik
disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi,
menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau
kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang dan tidak mendapatkan atau
dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyesalan hukum yang adil dan benar
berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Saran
Kepada para pembaca agar lebih
banyak mencari informasi tentang HAM dan Rule of Law untuk memahami kedua aspek
pembahasan tersebut
DAFTAR PUSTAKA
Kaelan. 2007. “Pendidikan Kewarganegaraan”. Paradigma.
Jogjakarta
Zaelani, Endang Sukaya.”Pendidikan
Kewarganegaraan”.Paradigma.Jogjakarta
Herdiawanto, Hery.”Pendidikan
Kewarganegaraan”.Erlangga.Jakarta
Azra,Azyumardi.”Demokrasi Hak Asasi Manusia Masyarakat
Madani”.ICCE UIN.Jakarta
Raika, Tika.2012.Pengertian-hak-asasi-manusia. (diakses lewat internet)
inforingankita.blogspot.com/.../
Chieva,C.”Perkembangan dan pemikiran
ham di Indonesia”.2012. (diakses lewat internet)
chieva-chiezchua.blogspot.com
Komentar
Posting Komentar